Tetesan
Hujan Karunia Tuhan
Karya
: Fitria Wulandari
“Tap...
tap.. tap..” Bunyi langkah kakiku yang berjalan menuju sekolah, tak begitu jauh
dari rumahku. Tapi itu menurutku. Ya, memang selalu seperti ini, aku setiap
hari selalu berjalan kaki menuju sekolah. Aku tak mau diantar oleh Ayahku yang
selalu menawarkan tumpangan dimobil mewahnya. Sambil berjalan, aku kembali
teringat dengan kejadian yang terjadi pagi tadi.
Pagi
tadi, sekitar jam 5 aku terbangun karena mendengar tangisan ibuku. Aku keluar
kamar untuk melihat apa yang terjadi. Aku melihat mata ibuku biru lebam dan
beberapa luka memar di sekitar wajah dan tangannya. Tak begitu mengejutkanku,
itu sudah sering terjadi. Aku hanya bisa meminta pertolongan Tuhan agar
penderitaan ibuku yang disebabkan oleh lelaki itu segera berakhir.
Lelaki
itu, ah aku sangat malu mengakuinya sebagai Ayahku. Bukan karena dia tak punya
banyak harta, tetapi dia selalu menyiksa Ibuku. Hampir setiap pagi aku tak
pernah melihatnya tak menyiksa Ibuku, entah apa salah Ibu. Aku benar-benar tak
suka itu. Tapi apa mau dikata, dia Ayahku. Sudah beribu kali kusarankan Ibu
untuk menceraikannya, tapi Ibu hanya tersenyum dan berkata, “Tak apa-apa.
Namanya juga berkeluarga, cek-cok itu biasa.” Entah terlalu cinta padanya atau karena
Ibu terlalu bodoh.
Tanpa
terasa mataku menitikkan air. Ku alihkan pandanganku kedepan, gerbang sekolahku
sudah dekat, segera ku hapus air mataku. Aku tak mau terlihat kacau hari ini
didepan teman-temanku.
Akhirnya
aku sampai di kelasku, duduk dibangku ku, menyapa teman-teman sekelas, bel
berbunyi tanda proses belajar mengajar harus dimulai, duduk mendengarkan guru,
dan bla bla bla. Selalu seperti itu. Aku pernah berpikir untuk apa kita sekolah
tinggi-tinggi, setengah hidup hanya dihabiskan untuk belajar, konyol! Dan yang
lebih konyolnya lagi, aku tetap merasa senang belajar disekolah, menuntut ilmu
setinggi mungkin. Agar aku tak menjadi wanita bodoh.
Aku
mulai bosan, otakku hari ini tak bisa menerima apa yang diberikan guru. Tiba
pada pelajaran terakhir, Bahasa Inggris. Mungkin kali ini aku bisa
berkonsentrasi, semoga saja. Tapi, tanpa diduga-duga sebelumnya, air langit
menetes dengan deras. Angin sepoi-sepoi menerpaku. Belajar dalam suasana
seperti ini, siapa yang tahan? Diotak siswa pasti hanya ingin segera pulang
kerumah dan tidur.
Sebenarnya
aku ingin berkonsentrasi, tapi hujan deras ini membuat suara kecil Lelaki tua
itu yang sangat mahir berbahasa inggris semakin tak terdengar. Mungkin karena
dia sadar kami sama sekali tak memperhatikannya, dia pun duduk dikursinya, dan
mulai mendongengkan kami sebuah cerita. Ini yang aku suka, setiap cerita yang
dia berikan pada kami selalu penuh makna.
Ya
Tuhan! Engkau Maha Penyayang. Sekarang hujannya tak begitu deras sehingga suara
Lelaki tua berkacamata itu dapat terdengar meski tak begitu jelas.
“Saya
tau apa yang kalian rasakan. Saya juga pernah seperti kalian, ketika hujan
pasti sangat sukar menerima palajaran dikarenakan rasa kantuk. Iya kan?” tanya
Pak Imam dengan tutur kata yang lembut kepada kami. Sebagai jawabannya,
teman-temanku hanya tersenyum, ada yang menggaruk kepala padahal itu tidak
gatal sama sekali, dan aku hanya menatap wajah keriputnya, aku hanya ingin
menyimak apa yang dia katakan.
“(memandang
langit dari kaca jendela) Dulu ketika saya kecil, saya takut sekali kalau
hujan. Hujan membuat aktivitas terhenti, hujan sangat menyakitkan. Tapi Ibu
saya selalu berkata agar kita tak boleh membenci hujan dan tak boleh juga
terlalu terbuai pada hujan. Hujan diberikan Tuhan agar kita dapat beristirahat
sejenak, memikirkan apa yang telah Ia berikan pada kita hari ini. Musibah, keberuntungan,
kesuksesan, kenikmatan semuanya harus disyukuri. Dan caranya adalah berdoa.
Coba saja kalian sekali-kali berdoa, meminta dan bersyukur pada Tuhan dengan
bersungguh-sungguh ketika hujan, pasti lebih tenang.”
Sejenak
aku dapat merasakan ketenangan batin, sejuk, damai. Ku hirup udara dalam-dalam,
rasanya begitu banyak yang Tuhan berikan dan aku tak pernah merasa puas. Tapi
ada sesuatu yg mengalihkan pandanganku, disebelah kananku aku menyaksikan
seorang anak laki-laki yang begitu khusyuk memanjatkan doa. Kulihat
sekelilingku, tak ada satupun orang kecuali aku yang menyadari kalau Eko sedang
berdoa dengan segenap kesungguhannya. Melihatnya hatiku luluh, betapa orang
yang bisa dikatakan jauh dari kesenangan duniawi bisa berdoa seperti itu,
sedangkan aku yang berkecukupan harta dan penuh dengan kesenangan duniawi tak
pernah berdoa seperti itu.
“Mau
ku antar pulang?” tanya Eko yang melihatku berjalan kaki dibawah hujan yang
kembali deras.
“Tak
usah repot-repot. Kamu pulang duluan saja, hujan begitu deras. Aku sudah
terbiasa seperti ini.”
“Bener?
”
“Ya.
Eh, tadi aku lihat kamu dikelas berdoa khusyuk sekali ketika pelajaran Bahasa
Inggris. Apa kamu ada masalah?”
“Nggak
begitu besar. Tapi... ah sudahlah. Kamu cepatlah pulang, nanti kamu sakit
hujan-hujanan seperti ini.”
“Aku
nggak akan pulang sebelum mendengar cerita darimu.”
“Keras
kepala! Itu, hmmm anu. Sepertinya aku akan berhenti sekolah.”
“hah?!
Kenapa?”
“Ya
biasalah, masalah ekonomi. Semenjak Ayah meninggalkan kami demi wanita lain,
akulah yang menggantikan posisi Ayah sebagai tulang punggung keluarga. Kamu kan
tahu adikku banyak, jadi sekolah sambil bekerja itu hanya akan menyiksaku. aku
sebenarnya belum puas, aku ingin sampai keperguruan tinggi kemudian sukses,
tapi apa boleh buat. Sebagai gantinya, adikku yang akan melanjutkan cita-citaku
bersekolah sampai keperguruan tinggi dan sukses. Amin. Sekarang kamu pulang ya,
aku juga mau bekerja sekarang.”
Aku
tak menjawab sama sekali, aku hanya memandang wajahnya. Aku terharu mendengar
ceritanya. Dan lagi-lagi, rasa benciku terhadap seorang Ayah semakin memuncak. “Ayah
hanya bisa menyiksa keluarganya!” Batinku menjerit. Kulihat Eko membuka tasnya,
sepertinya ada sesuatu yang dia cari.
“Nih!”
Katanya sambil memberikan sesuatu yang terbungkus koran bekas kepadaku.
“Jas
hujan? Terima kasih. Kamu bisa pulang sekarang. Dan terima kasih juga kamu mau
berbagi cerita kepadaku.”
“Ya,
hati-hati. Semoga selamat sampai rumah. Jangan beritahu siapa-siapa ya soal
masalahku.” Kemudian, dengan mengendarai sepeda motor dia melaju dengan cepat
meninggalkan aku yang sudah basah sedari tadi. Kupakai jas hujan yang ia
berikani, lumayan membantu perjalananku pulang.
Sepanjang
perjalanan diguyur hujan, aku kembali mengingat-ingat kejadian yang tadi
dikelas dan masalah yang sekarang dialami Eko. Kucoba memanjatkan doa pada-Nya.
Ya Tuhan, Maha Pengasih dan Penyayang. Aku
yakin kau pasti mendengarkanku. Aku memohon agar ibuku segera lepas dari
penderitaan ini. Aku begitu benci dengan ayahku, aku tau itu tak boleh. Tapi
hati ini sudah terhapuskan kata maaf untuk ayah. Aku sudah kelas 1 SMA dan aku
hanya memiliki adik perempuan yang masih sangat kecil. Aku tau ini bukan
balasan yang pantas untuk anak yang sangat disayang oleh ayahnya, tapi aku
lebih mencintai ibuku. Aku tak bisa melihat ibu disiksa terus-menerus.
Tamparan, tendangan, pukulan, bantingan yang dirasakan ibuku sepertinya aku
juga merasakannya. Jauh disini, didalam hati ini aku menginginkan hidup dengan
keadaan keluarga yang begitu damai. Tak apa Kau tak memberi kami harta
berlimpah, asalkan ayah dapat mencintai ibu setulus hati, itu sudah cukup. Aku
tak mau adik kecilku itu merasakan apa yg aku rasakan sekarang, aku ingin dia
dirawat dengan kasih sayang penuh dari Ibu, Ayah, Aku, dan tentunya kasih
sayang-Mu. Tuhan, begitu tak tau dirinya aku ini, memohon banyak sekali padaMu.
Tapi semoga Kau medengarkanku, dan setidaknya mengabulkan sedikit saja dari
doaku ini. Amin.
Aku
mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku. Baru kali ini aku merasakan
kedamaian yang entah datang dari mana. Rasanya aku ingin segera pulang, menyapa
Ayah Ibuku, mencium tangan mereka, memeluk mereka, mencium wajah kecil adikku. Aku
berlari sekuat tenaga dengan wajah yang penuh kegembiraan, seperti ada
seseorang yang terus menyuruhku cepat pulang.
Dari
jauh aku melihat pintu rumahku terbuka. Apakah mereka telah menungguku?
Perasaanku semakin senang. Kuperlambat langkahku, senyumku yang tak manis ini
semakin mengembang. Sampai didepan rumah, aku bingung melihat begitu banyak
alas kaki yang tak beraturan diterasku. Ada apa ini, begitu banyak pertanyaan
berkecamuk dalam hatiku. Aku tak berani melangkah maju, aku takut sesuatu
terjadi pada mereka yang kusayangi. Rasa senang yang tadi mengiringi perjalanan
pulangku kini menjadi rasa takut.
Rasa
takut yang tak beralasan ini tak mungkin bisa hilang jika aku tak masuk kerumah
dan melihat apa yang terjadi. Kukuatkan hatiku, kulangkahkan kakiku, kulepaskan
dan kuletakkan jas hujan serta tasku. Hatiku semakin berdebar, semoga Tuhan
mendengar permohonanku tadi. Dengan tubuh yang basah aku melangkah maju.
Aku
diam terpaku, pandanganku lurus. Air mataku mengalir, jauh lebih deras daripada
hujan diluar sana. Ya Tuhan! Maha Besar Engkau. Engkau telah mengabulkan
permohonanku hanya dalam waktu yang singkat. Semua, semua yang aku minta
pada-Mu.
“Ini.”
Kata seorang wanita yang tak ku kenal sembari memberikan aku kertas kusut
berwarna hijau terang.
Kau
kurawat bertahun-tahun. Tak pernah aku lelah menemanimu, anakku. Tak pernah aku
memintamu sesuatu, tapi kali ini kumohon dengan kerendahan ibumu ini, janganlah
kau benci lagi pada ayahmu. Sungguh, ayahmu tak bermaksud seperti ini. Kau
hanya tak tau. Begitu banyak hal yang ayah dan ibu rahasiakan padamu. Aku
bukanlah ibu kandungmu, aku bukanlah yang melahirkanmu. Ibu kandung yang
melahirkanmu telah lama meninggal, bahkan sebelum kau dapat disentuh olehnya.
Dan penyebab kematiannya adalah aku. Aku hanyalah pembantu rendah yang sangat
hina. Aku sangat mencintai ayahmu, karena dia sangat tampan, kaya dan baik
hati. Cintaku pada ayahmu membutakan mata dan hatiku. Aku tak sanggup melihat
ayahmu yang kucintai itu bermesraan dengan ibumu sepanjang hari. Aku cemburu.
Aku gelap mata, kurencanakan semua pembunuhan untuk ibumu, meski aku tau dia
sedang mengandungmu yang tak lama lagi lahir kemuka bumi ini. Ketika itu ayahmu
tak ada dirumah, hanya aku dan ibumu. Ketika dia berjalan menuju teras, aku
mendorongnya dari belakang, kuhantamkan kayu ke perutnya. Sebelum dia
benar-benar mati, aku tersadar. Aku segera mengangkatnya dan berteriak meminta
tolong. Maaf kan aku anakku,ibumu tak tertolong, dokter hanya mampu menolongmu
dari maut yang aku ciptakan. Ayahmu tak sanggup menerima keadaan ini, dia ingin
memenjarakan aku. Tapi aku memohon dengan sangat padanya agar tak melakukan
itu. Akhirnya, demi dirimu, ayahmu menikahi aku. Aku merawatmu dengan penuh
kasih sayang untuk membalas semua kejahatanku terhadap ibumu. Ayahmu tak pernah
sanggup melihat wajahku, oleh karena itu dia selalu memukuliku. Hanya sekali
aku merasakan kasih sayang ayahmu, itupun tidak dengan kesungguhan hati ayahmu.
Dia mabuk parah dan tak sadar bahwa dia telah meniduriku, dan itu membuatku
hamil yang akhirnya melahirkan adikmu. Dia tak pernah cinta padaku dan juga pada
adik kecilmu. Dia hanya cinta pada Almarhumah ibumu dan dirimu. Maaf kan aku
anakku, aku tak bermaksud merusak kesenanganmu, aku begitu takut dicintai
olehmu. Aku takut ibumu semakin membenciku, tapi ketika melihat wajahmu yang
begitu mirip dengan ibumu, aku selalu ingin memelukmu, menciummu. Aku sangat
mencintaimu jauh dari rasa cintaku pada ayahmu. Aku tak dapat jujur padamu, aku
juga tak sanggup lagi menjalani hidup penuh rasa bersalah ini. Aku ingin segera
bertemu ibumu untuk memohon ampun padanya. Dan maaf, adikmu juga akan
menemaniku menemui Ibumu.
Kugenggam
erat surat itu, kulihat pemandangan menyakitkan didepan sana. Kini ibu yang
bukan ibu kandungku itu telah lepas dari penyiksaan Ayahku, benar-benar
berakhir. Didalam hati ini mulai timbul rasa benci, bukan padanya atau pada
Ayah. Hanya benci, mungkin aku benci pada diriku sendiri. Entahlah, rasanya
begitu sakit kalau aku mengingatnya.
Kini
setiap hari aku selalu bersama Ayah. Dia mengantarku kesekolah dan menjemputku
ketika pulang sekolah. Sepulang sekolah setiap harinya aku dan Ayah mengunjungi
pemakaman yang tak jauh dari rumahku. Disana berjejer 3 batu nisan, Ibu kandung
yang tak pernah kukenal, Ibu yang bukan ibuku tapi sangat kucintai, dan adik
kecilku.
Hari-hariku
semakin membaik, kurasakan sangat damai walau kini aku hanya hidup bersama
Ayah. Mungkin inilah jawaban atas doaku. Akhirnya Ibu tak lagi merasakan
penderitaan, dan adikku kini pasti senang di alam sana, merasakan kasih sayang
Ibunya dan tentu saja kasih sayang-Mu. Terima kasih Tuhan, hidup yang Engkau
berikan ini sangat berarti bagiku. Hanya aku dan Ayah kini yang akan
melanjutkan hidup yang Kau berikan. Entah apalagi yang ada didepan sana. Tapi
kini dihatiku, aku sangat sayang pada Ayah, kedua Ibuku, adikku, dan kepada
Hujan.
Tetesan
Hujan Karunia Tuhan
Karya : Fitria Wulandari
“Tap...
tap.. tap..” Bunyi langkah kakiku yang berjalan menuju sekolah, tak begitu jauh
dari rumahku. Tapi itu menurutku. Ya, memang selalu seperti ini, aku setiap
hari selalu berjalan kaki menuju sekolah. Aku tak mau diantar oleh Ayahku yang
selalu menawarkan tumpangan dimobil mewahnya. Sambil berjalan, aku kembali
teringat dengan kejadian yang terjadi pagi tadi.
Pagi
tadi, sekitar jam 5 aku terbangun karena mendengar tangisan ibuku. Aku keluar
kamar untuk melihat apa yang terjadi. Aku melihat mata ibuku biru lebam dan
beberapa luka memar di sekitar wajah dan tangannya. Tak begitu mengejutkanku,
itu sudah sering terjadi. Aku hanya bisa meminta pertolongan Tuhan agar
penderitaan ibuku yang disebabkan oleh lelaki itu segera berakhir.
Lelaki
itu, ah aku sangat malu mengakuinya sebagai Ayahku. Bukan karena dia tak punya
banyak harta, tetapi dia selalu menyiksa Ibuku. Hampir setiap pagi aku tak
pernah melihatnya tak menyiksa Ibuku, entah apa salah Ibu. Aku benar-benar tak
suka itu. Tapi apa mau dikata, dia Ayahku. Sudah beribu kali kusarankan Ibu
untuk menceraikannya, tapi Ibu hanya tersenyum dan berkata, “Tak apa-apa.
Namanya juga berkeluarga, cek-cok itu biasa.” Entah terlalu cinta padanya atau karena
Ibu terlalu bodoh.
Tanpa
terasa mataku menitikkan air. Ku alihkan pandanganku kedepan, gerbang sekolahku
sudah dekat, segera ku hapus air mataku. Aku tak mau terlihat kacau hari ini
didepan teman-temanku.
Akhirnya
aku sampai di kelasku, duduk dibangku ku, menyapa teman-teman sekelas, bel
berbunyi tanda proses belajar mengajar harus dimulai, duduk mendengarkan guru,
dan bla bla bla. Selalu seperti itu. Aku pernah berpikir untuk apa kita sekolah
tinggi-tinggi, setengah hidup hanya dihabiskan untuk belajar, konyol! Dan yang
lebih konyolnya lagi, aku tetap merasa senang belajar disekolah, menuntut ilmu
setinggi mungkin. Agar aku tak menjadi wanita bodoh.
Aku
mulai bosan, otakku hari ini tak bisa menerima apa yang diberikan guru. Tiba
pada pelajaran terakhir, Bahasa Inggris. Mungkin kali ini aku bisa
berkonsentrasi, semoga saja. Tapi, tanpa diduga-duga sebelumnya, air langit
menetes dengan deras. Angin sepoi-sepoi menerpaku. Belajar dalam suasana
seperti ini, siapa yang tahan? Diotak siswa pasti hanya ingin segera pulang
kerumah dan tidur.
Sebenarnya
aku ingin berkonsentrasi, tapi hujan deras ini membuat suara kecil Lelaki tua
itu yang sangat mahir berbahasa inggris semakin tak terdengar. Mungkin karena
dia sadar kami sama sekali tak memperhatikannya, dia pun duduk dikursinya, dan
mulai mendongengkan kami sebuah cerita. Ini yang aku suka, setiap cerita yang
dia berikan pada kami selalu penuh makna.
Ya
Tuhan! Engkau Maha Penyayang. Sekarang hujannya tak begitu deras sehingga suara
Lelaki tua berkacamata itu dapat terdengar meski tak begitu jelas.
“Saya
tau apa yang kalian rasakan. Saya juga pernah seperti kalian, ketika hujan
pasti sangat sukar menerima palajaran dikarenakan rasa kantuk. Iya kan?” tanya
Pak Imam dengan tutur kata yang lembut kepada kami. Sebagai jawabannya,
teman-temanku hanya tersenyum, ada yang menggaruk kepala padahal itu tidak
gatal sama sekali, dan aku hanya menatap wajah keriputnya, aku hanya ingin
menyimak apa yang dia katakan.
“(memandang
langit dari kaca jendela) Dulu ketika saya kecil, saya takut sekali kalau
hujan. Hujan membuat aktivitas terhenti, hujan sangat menyakitkan. Tapi Ibu
saya selalu berkata agar kita tak boleh membenci hujan dan tak boleh juga
terlalu terbuai pada hujan. Hujan diberikan Tuhan agar kita dapat beristirahat
sejenak, memikirkan apa yang telah Ia berikan pada kita hari ini. Musibah, keberuntungan,
kesuksesan, kenikmatan semuanya harus disyukuri. Dan caranya adalah berdoa.
Coba saja kalian sekali-kali berdoa, meminta dan bersyukur pada Tuhan dengan
bersungguh-sungguh ketika hujan, pasti lebih tenang.”
Sejenak
aku dapat merasakan ketenangan batin, sejuk, damai. Ku hirup udara dalam-dalam,
rasanya begitu banyak yang Tuhan berikan dan aku tak pernah merasa puas. Tapi
ada sesuatu yg mengalihkan pandanganku, disebelah kananku aku menyaksikan
seorang anak laki-laki yang begitu khusyuk memanjatkan doa. Kulihat
sekelilingku, tak ada satupun orang kecuali aku yang menyadari kalau Eko sedang
berdoa dengan segenap kesungguhannya. Melihatnya hatiku luluh, betapa orang
yang bisa dikatakan jauh dari kesenangan duniawi bisa berdoa seperti itu,
sedangkan aku yang berkecukupan harta dan penuh dengan kesenangan duniawi tak
pernah berdoa seperti itu.
“Mau
ku antar pulang?” tanya Eko yang melihatku berjalan kaki dibawah hujan yang
kembali deras.
“Tak
usah repot-repot. Kamu pulang duluan saja, hujan begitu deras. Aku sudah
terbiasa seperti ini.”
“Bener?
”
“Ya.
Eh, tadi aku lihat kamu dikelas berdoa khusyuk sekali ketika pelajaran Bahasa
Inggris. Apa kamu ada masalah?”
“Nggak
begitu besar. Tapi... ah sudahlah. Kamu cepatlah pulang, nanti kamu sakit
hujan-hujanan seperti ini.”
“Aku
nggak akan pulang sebelum mendengar cerita darimu.”
“Keras
kepala! Itu, hmmm anu. Sepertinya aku akan berhenti sekolah.”
“hah?!
Kenapa?”
“Ya
biasalah, masalah ekonomi. Semenjak Ayah meninggalkan kami demi wanita lain,
akulah yang menggantikan posisi Ayah sebagai tulang punggung keluarga. Kamu kan
tahu adikku banyak, jadi sekolah sambil bekerja itu hanya akan menyiksaku. aku
sebenarnya belum puas, aku ingin sampai keperguruan tinggi kemudian sukses,
tapi apa boleh buat. Sebagai gantinya, adikku yang akan melanjutkan cita-citaku
bersekolah sampai keperguruan tinggi dan sukses. Amin. Sekarang kamu pulang ya,
aku juga mau bekerja sekarang.”
Aku
tak menjawab sama sekali, aku hanya memandang wajahnya. Aku terharu mendengar
ceritanya. Dan lagi-lagi, rasa benciku terhadap seorang Ayah semakin memuncak. “Ayah
hanya bisa menyiksa keluarganya!” Batinku menjerit. Kulihat Eko membuka tasnya,
sepertinya ada sesuatu yang dia cari.
“Nih!”
Katanya sambil memberikan sesuatu yang terbungkus koran bekas kepadaku.
“Jas
hujan? Terima kasih. Kamu bisa pulang sekarang. Dan terima kasih juga kamu mau
berbagi cerita kepadaku.”
“Ya,
hati-hati. Semoga selamat sampai rumah. Jangan beritahu siapa-siapa ya soal
masalahku.” Kemudian, dengan mengendarai sepeda motor dia melaju dengan cepat
meninggalkan aku yang sudah basah sedari tadi. Kupakai jas hujan yang ia
berikani, lumayan membantu perjalananku pulang.
Sepanjang
perjalanan diguyur hujan, aku kembali mengingat-ingat kejadian yang tadi
dikelas dan masalah yang sekarang dialami Eko. Kucoba memanjatkan doa pada-Nya.
Ya Tuhan, Maha Pengasih dan Penyayang. Aku
yakin kau pasti mendengarkanku. Aku memohon agar ibuku segera lepas dari
penderitaan ini. Aku begitu benci dengan ayahku, aku tau itu tak boleh. Tapi
hati ini sudah terhapuskan kata maaf untuk ayah. Aku sudah kelas 1 SMA dan aku
hanya memiliki adik perempuan yang masih sangat kecil. Aku tau ini bukan
balasan yang pantas untuk anak yang sangat disayang oleh ayahnya, tapi aku
lebih mencintai ibuku. Aku tak bisa melihat ibu disiksa terus-menerus.
Tamparan, tendangan, pukulan, bantingan yang dirasakan ibuku sepertinya aku
juga merasakannya. Jauh disini, didalam hati ini aku menginginkan hidup dengan
keadaan keluarga yang begitu damai. Tak apa Kau tak memberi kami harta
berlimpah, asalkan ayah dapat mencintai ibu setulus hati, itu sudah cukup. Aku
tak mau adik kecilku itu merasakan apa yg aku rasakan sekarang, aku ingin dia
dirawat dengan kasih sayang penuh dari Ibu, Ayah, Aku, dan tentunya kasih
sayang-Mu. Tuhan, begitu tak tau dirinya aku ini, memohon banyak sekali padaMu.
Tapi semoga Kau medengarkanku, dan setidaknya mengabulkan sedikit saja dari
doaku ini. Amin.
Aku
mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku. Baru kali ini aku merasakan
kedamaian yang entah datang dari mana. Rasanya aku ingin segera pulang, menyapa
Ayah Ibuku, mencium tangan mereka, memeluk mereka, mencium wajah kecil adikku. Aku
berlari sekuat tenaga dengan wajah yang penuh kegembiraan, seperti ada
seseorang yang terus menyuruhku cepat pulang.
Dari
jauh aku melihat pintu rumahku terbuka. Apakah mereka telah menungguku?
Perasaanku semakin senang. Kuperlambat langkahku, senyumku yang tak manis ini
semakin mengembang. Sampai didepan rumah, aku bingung melihat begitu banyak
alas kaki yang tak beraturan diterasku. Ada apa ini, begitu banyak pertanyaan
berkecamuk dalam hatiku. Aku tak berani melangkah maju, aku takut sesuatu
terjadi pada mereka yang kusayangi. Rasa senang yang tadi mengiringi perjalanan
pulangku kini menjadi rasa takut.
Rasa
takut yang tak beralasan ini tak mungkin bisa hilang jika aku tak masuk kerumah
dan melihat apa yang terjadi. Kukuatkan hatiku, kulangkahkan kakiku, kulepaskan
dan kuletakkan jas hujan serta tasku. Hatiku semakin berdebar, semoga Tuhan
mendengar permohonanku tadi. Dengan tubuh yang basah aku melangkah maju.
Aku
diam terpaku, pandanganku lurus. Air mataku mengalir, jauh lebih deras daripada
hujan diluar sana. Ya Tuhan! Maha Besar Engkau. Engkau telah mengabulkan
permohonanku hanya dalam waktu yang singkat. Semua, semua yang aku minta
pada-Mu.
“Ini.”
Kata seorang wanita yang tak ku kenal sembari memberikan aku kertas kusut
berwarna hijau terang.
Kau
kurawat bertahun-tahun. Tak pernah aku lelah menemanimu, anakku. Tak pernah aku
memintamu sesuatu, tapi kali ini kumohon dengan kerendahan ibumu ini, janganlah
kau benci lagi pada ayahmu. Sungguh, ayahmu tak bermaksud seperti ini. Kau
hanya tak tau. Begitu banyak hal yang ayah dan ibu rahasiakan padamu. Aku
bukanlah ibu kandungmu, aku bukanlah yang melahirkanmu. Ibu kandung yang
melahirkanmu telah lama meninggal, bahkan sebelum kau dapat disentuh olehnya.
Dan penyebab kematiannya adalah aku. Aku hanyalah pembantu rendah yang sangat
hina. Aku sangat mencintai ayahmu, karena dia sangat tampan, kaya dan baik
hati. Cintaku pada ayahmu membutakan mata dan hatiku. Aku tak sanggup melihat
ayahmu yang kucintai itu bermesraan dengan ibumu sepanjang hari. Aku cemburu.
Aku gelap mata, kurencanakan semua pembunuhan untuk ibumu, meski aku tau dia
sedang mengandungmu yang tak lama lagi lahir kemuka bumi ini. Ketika itu ayahmu
tak ada dirumah, hanya aku dan ibumu. Ketika dia berjalan menuju teras, aku
mendorongnya dari belakang, kuhantamkan kayu ke perutnya. Sebelum dia
benar-benar mati, aku tersadar. Aku segera mengangkatnya dan berteriak meminta
tolong. Maaf kan aku anakku,ibumu tak tertolong, dokter hanya mampu menolongmu
dari maut yang aku ciptakan. Ayahmu tak sanggup menerima keadaan ini, dia ingin
memenjarakan aku. Tapi aku memohon dengan sangat padanya agar tak melakukan
itu. Akhirnya, demi dirimu, ayahmu menikahi aku. Aku merawatmu dengan penuh
kasih sayang untuk membalas semua kejahatanku terhadap ibumu. Ayahmu tak pernah
sanggup melihat wajahku, oleh karena itu dia selalu memukuliku. Hanya sekali
aku merasakan kasih sayang ayahmu, itupun tidak dengan kesungguhan hati ayahmu.
Dia mabuk parah dan tak sadar bahwa dia telah meniduriku, dan itu membuatku
hamil yang akhirnya melahirkan adikmu. Dia tak pernah cinta padaku dan juga pada
adik kecilmu. Dia hanya cinta pada Almarhumah ibumu dan dirimu. Maaf kan aku
anakku, aku tak bermaksud merusak kesenanganmu, aku begitu takut dicintai
olehmu. Aku takut ibumu semakin membenciku, tapi ketika melihat wajahmu yang
begitu mirip dengan ibumu, aku selalu ingin memelukmu, menciummu. Aku sangat
mencintaimu jauh dari rasa cintaku pada ayahmu. Aku tak dapat jujur padamu, aku
juga tak sanggup lagi menjalani hidup penuh rasa bersalah ini. Aku ingin segera
bertemu ibumu untuk memohon ampun padanya. Dan maaf, adikmu juga akan
menemaniku menemui Ibumu.
Kugenggam
erat surat itu, kulihat pemandangan menyakitkan didepan sana. Kini ibu yang
bukan ibu kandungku itu telah lepas dari penyiksaan Ayahku, benar-benar
berakhir. Didalam hati ini mulai timbul rasa benci, bukan padanya atau pada
Ayah. Hanya benci, mungkin aku benci pada diriku sendiri. Entahlah, rasanya
begitu sakit kalau aku mengingatnya.
Kini
setiap hari aku selalu bersama Ayah. Dia mengantarku kesekolah dan menjemputku
ketika pulang sekolah. Sepulang sekolah setiap harinya aku dan Ayah mengunjungi
pemakaman yang tak jauh dari rumahku. Disana berjejer 3 batu nisan, Ibu kandung
yang tak pernah kukenal, Ibu yang bukan ibuku tapi sangat kucintai, dan adik
kecilku.
Hari-hariku
semakin membaik, kurasakan sangat damai walau kini aku hanya hidup bersama
Ayah. Mungkin inilah jawaban atas doaku. Akhirnya Ibu tak lagi merasakan
penderitaan, dan adikku kini pasti senang di alam sana, merasakan kasih sayang
Ibunya dan tentu saja kasih sayang-Mu. Terima kasih Tuhan, hidup yang Engkau
berikan ini sangat berarti bagiku. Hanya aku dan Ayah kini yang akan
melanjutkan hidup yang Kau berikan. Entah apalagi yang ada didepan sana. Tapi
kini dihatiku, aku sangat sayang pada Ayah, kedua Ibuku, adikku, dan kepada
Hujan.
ecieeeeee. cerpenku hahahaha :))
BalasHapuswahaahahaha, bagus donk kan?? ;)
BalasHapus