Laman

Rabu, 26 Oktober 2011

Cerpen Tetesan Hujan Karunia Tuhan


Tetesan Hujan Karunia Tuhan



Karya : Fitria Wulandari


“Tap... tap.. tap..” Bunyi langkah kakiku yang berjalan menuju sekolah, tak begitu jauh dari rumahku. Tapi itu menurutku. Ya, memang selalu seperti ini, aku setiap hari selalu berjalan kaki menuju sekolah. Aku tak mau diantar oleh Ayahku yang selalu menawarkan tumpangan dimobil mewahnya. Sambil berjalan, aku kembali teringat dengan kejadian yang terjadi pagi tadi.

Pagi tadi, sekitar jam 5 aku terbangun karena mendengar tangisan ibuku. Aku keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi. Aku melihat mata ibuku biru lebam dan beberapa luka memar di sekitar wajah dan tangannya. Tak begitu mengejutkanku, itu sudah sering terjadi. Aku hanya bisa meminta pertolongan Tuhan agar penderitaan ibuku yang disebabkan oleh lelaki itu segera berakhir.

Lelaki itu, ah aku sangat malu mengakuinya sebagai Ayahku. Bukan karena dia tak punya banyak harta, tetapi dia selalu menyiksa Ibuku. Hampir setiap pagi aku tak pernah melihatnya tak menyiksa Ibuku, entah apa salah Ibu. Aku benar-benar tak suka itu. Tapi apa mau dikata, dia Ayahku. Sudah beribu kali kusarankan Ibu untuk menceraikannya, tapi Ibu hanya tersenyum dan berkata, “Tak apa-apa. Namanya juga berkeluarga, cek-cok itu biasa.” Entah terlalu cinta padanya atau karena Ibu terlalu bodoh.

Tanpa terasa mataku menitikkan air. Ku alihkan pandanganku kedepan, gerbang sekolahku sudah dekat, segera ku hapus air mataku. Aku tak mau terlihat kacau hari ini didepan teman-temanku.
Akhirnya aku sampai di kelasku, duduk dibangku ku, menyapa teman-teman sekelas, bel berbunyi tanda proses belajar mengajar harus dimulai, duduk mendengarkan guru, dan bla bla bla. Selalu seperti itu. Aku pernah berpikir untuk apa kita sekolah tinggi-tinggi, setengah hidup hanya dihabiskan untuk belajar, konyol! Dan yang lebih konyolnya lagi, aku tetap merasa senang belajar disekolah, menuntut ilmu setinggi mungkin. Agar aku tak menjadi wanita bodoh.
Aku mulai bosan, otakku hari ini tak bisa menerima apa yang diberikan guru. Tiba pada pelajaran terakhir, Bahasa Inggris. Mungkin kali ini aku bisa berkonsentrasi, semoga saja. Tapi, tanpa diduga-duga sebelumnya, air langit menetes dengan deras. Angin sepoi-sepoi menerpaku. Belajar dalam suasana seperti ini, siapa yang tahan? Diotak siswa pasti hanya ingin segera pulang kerumah dan tidur.


Sebenarnya aku ingin berkonsentrasi, tapi hujan deras ini membuat suara kecil Lelaki tua itu yang sangat mahir berbahasa inggris semakin tak terdengar. Mungkin karena dia sadar kami sama sekali tak memperhatikannya, dia pun duduk dikursinya, dan mulai mendongengkan kami sebuah cerita. Ini yang aku suka, setiap cerita yang dia berikan pada kami selalu penuh makna.
Ya Tuhan! Engkau Maha Penyayang. Sekarang hujannya tak begitu deras sehingga suara Lelaki tua berkacamata itu dapat terdengar meski tak begitu jelas.
“Saya tau apa yang kalian rasakan. Saya juga pernah seperti kalian, ketika hujan pasti sangat sukar menerima palajaran dikarenakan rasa kantuk. Iya kan?” tanya Pak Imam dengan tutur kata yang lembut kepada kami. Sebagai jawabannya, teman-temanku hanya tersenyum, ada yang menggaruk kepala padahal itu tidak gatal sama sekali, dan aku hanya menatap wajah keriputnya, aku hanya ingin menyimak apa yang dia katakan.
“(memandang langit dari kaca jendela) Dulu ketika saya kecil, saya takut sekali kalau hujan. Hujan membuat aktivitas terhenti, hujan sangat menyakitkan. Tapi Ibu saya selalu berkata agar kita tak boleh membenci hujan dan tak boleh juga terlalu terbuai pada hujan. Hujan diberikan Tuhan agar kita dapat beristirahat sejenak, memikirkan apa yang telah Ia berikan pada kita hari ini. Musibah, keberuntungan, kesuksesan, kenikmatan semuanya harus disyukuri. Dan caranya adalah berdoa. Coba saja kalian sekali-kali berdoa, meminta dan bersyukur pada Tuhan dengan bersungguh-sungguh ketika hujan, pasti lebih tenang.”
Sejenak aku dapat merasakan ketenangan batin, sejuk, damai. Ku hirup udara dalam-dalam, rasanya begitu banyak yang Tuhan berikan dan aku tak pernah merasa puas. Tapi ada sesuatu yg mengalihkan pandanganku, disebelah kananku aku menyaksikan seorang anak laki-laki yang begitu khusyuk memanjatkan doa. Kulihat sekelilingku, tak ada satupun orang kecuali aku yang menyadari kalau Eko sedang berdoa dengan segenap kesungguhannya. Melihatnya hatiku luluh, betapa orang yang bisa dikatakan jauh dari kesenangan duniawi bisa berdoa seperti itu, sedangkan aku yang berkecukupan harta dan penuh dengan kesenangan duniawi tak pernah berdoa seperti itu.
“Mau ku antar pulang?” tanya Eko yang melihatku berjalan kaki dibawah hujan yang kembali deras.
“Tak usah repot-repot. Kamu pulang duluan saja, hujan begitu deras. Aku sudah terbiasa seperti ini.”
“Bener? ”
“Ya. Eh, tadi aku lihat kamu dikelas berdoa khusyuk sekali ketika pelajaran Bahasa Inggris. Apa kamu ada masalah?”
“Nggak begitu besar. Tapi... ah sudahlah. Kamu cepatlah pulang, nanti kamu sakit hujan-hujanan seperti ini.”
“Aku nggak akan pulang sebelum mendengar cerita darimu.”
“Keras kepala! Itu, hmmm anu. Sepertinya aku akan berhenti sekolah.”
“hah?! Kenapa?”
“Ya biasalah, masalah ekonomi. Semenjak Ayah meninggalkan kami demi wanita lain, akulah yang menggantikan posisi Ayah sebagai tulang punggung keluarga. Kamu kan tahu adikku banyak, jadi sekolah sambil bekerja itu hanya akan menyiksaku. aku sebenarnya belum puas, aku ingin sampai keperguruan tinggi kemudian sukses, tapi apa boleh buat. Sebagai gantinya, adikku yang akan melanjutkan cita-citaku bersekolah sampai keperguruan tinggi dan sukses. Amin. Sekarang kamu pulang ya, aku juga mau bekerja sekarang.”
Aku tak menjawab sama sekali, aku hanya memandang wajahnya. Aku terharu mendengar ceritanya. Dan lagi-lagi, rasa benciku terhadap seorang Ayah semakin memuncak. “Ayah hanya bisa menyiksa keluarganya!” Batinku menjerit. Kulihat Eko membuka tasnya, sepertinya ada sesuatu yang dia cari.
“Nih!” Katanya sambil memberikan sesuatu yang terbungkus koran bekas kepadaku.
“Jas hujan? Terima kasih. Kamu bisa pulang sekarang. Dan terima kasih juga kamu mau berbagi cerita kepadaku.”
“Ya, hati-hati. Semoga selamat sampai rumah. Jangan beritahu siapa-siapa ya soal masalahku.” Kemudian, dengan mengendarai sepeda motor dia melaju dengan cepat meninggalkan aku yang sudah basah sedari tadi. Kupakai jas hujan yang ia berikani, lumayan membantu perjalananku pulang.
Sepanjang perjalanan diguyur hujan, aku kembali mengingat-ingat kejadian yang tadi dikelas dan masalah yang sekarang dialami Eko. Kucoba memanjatkan doa pada-Nya.
Ya Tuhan, Maha Pengasih dan Penyayang. Aku yakin kau pasti mendengarkanku. Aku memohon agar ibuku segera lepas dari penderitaan ini. Aku begitu benci dengan ayahku, aku tau itu tak boleh. Tapi hati ini sudah terhapuskan kata maaf untuk ayah. Aku sudah kelas 1 SMA dan aku hanya memiliki adik perempuan yang masih sangat kecil. Aku tau ini bukan balasan yang pantas untuk anak yang sangat disayang oleh ayahnya, tapi aku lebih mencintai ibuku. Aku tak bisa melihat ibu disiksa terus-menerus. Tamparan, tendangan, pukulan, bantingan yang dirasakan ibuku sepertinya aku juga merasakannya. Jauh disini, didalam hati ini aku menginginkan hidup dengan keadaan keluarga yang begitu damai. Tak apa Kau tak memberi kami harta berlimpah, asalkan ayah dapat mencintai ibu setulus hati, itu sudah cukup. Aku tak mau adik kecilku itu merasakan apa yg aku rasakan sekarang, aku ingin dia dirawat dengan kasih sayang penuh dari Ibu, Ayah, Aku, dan tentunya kasih sayang-Mu. Tuhan, begitu tak tau dirinya aku ini, memohon banyak sekali padaMu. Tapi semoga Kau medengarkanku, dan setidaknya mengabulkan sedikit saja dari doaku ini. Amin.
Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku. Baru kali ini aku merasakan kedamaian yang entah datang dari mana. Rasanya aku ingin segera pulang, menyapa Ayah Ibuku, mencium tangan mereka, memeluk mereka, mencium wajah kecil adikku. Aku berlari sekuat tenaga dengan wajah yang penuh kegembiraan, seperti ada seseorang yang terus menyuruhku cepat pulang.
Dari jauh aku melihat pintu rumahku terbuka. Apakah mereka telah menungguku? Perasaanku semakin senang. Kuperlambat langkahku, senyumku yang tak manis ini semakin mengembang. Sampai didepan rumah, aku bingung melihat begitu banyak alas kaki yang tak beraturan diterasku. Ada apa ini, begitu banyak pertanyaan berkecamuk dalam hatiku. Aku tak berani melangkah maju, aku takut sesuatu terjadi pada mereka yang kusayangi. Rasa senang yang tadi mengiringi perjalanan pulangku kini menjadi rasa takut.
Rasa takut yang tak beralasan ini tak mungkin bisa hilang jika aku tak masuk kerumah dan melihat apa yang terjadi. Kukuatkan hatiku, kulangkahkan kakiku, kulepaskan dan kuletakkan jas hujan serta tasku. Hatiku semakin berdebar, semoga Tuhan mendengar permohonanku tadi. Dengan tubuh yang basah aku melangkah maju.
Aku diam terpaku, pandanganku lurus. Air mataku mengalir, jauh lebih deras daripada hujan diluar sana. Ya Tuhan! Maha Besar Engkau. Engkau telah mengabulkan permohonanku hanya dalam waktu yang singkat. Semua, semua yang aku minta pada-Mu.
“Ini.” Kata seorang wanita yang tak ku kenal sembari memberikan aku kertas kusut berwarna hijau terang.
            Kau kurawat bertahun-tahun. Tak pernah aku lelah menemanimu, anakku. Tak pernah aku memintamu sesuatu, tapi kali ini kumohon dengan kerendahan ibumu ini, janganlah kau benci lagi pada ayahmu. Sungguh, ayahmu tak bermaksud seperti ini. Kau hanya tak tau. Begitu banyak hal yang ayah dan ibu rahasiakan padamu. Aku bukanlah ibu kandungmu, aku bukanlah yang melahirkanmu. Ibu kandung yang melahirkanmu telah lama meninggal, bahkan sebelum kau dapat disentuh olehnya. Dan penyebab kematiannya adalah aku. Aku hanyalah pembantu rendah yang sangat hina. Aku sangat mencintai ayahmu, karena dia sangat tampan, kaya dan baik hati. Cintaku pada ayahmu membutakan mata dan hatiku. Aku tak sanggup melihat ayahmu yang kucintai itu bermesraan dengan ibumu sepanjang hari. Aku cemburu. Aku gelap mata, kurencanakan semua pembunuhan untuk ibumu, meski aku tau dia sedang mengandungmu yang tak lama lagi lahir kemuka bumi ini. Ketika itu ayahmu tak ada dirumah, hanya aku dan ibumu. Ketika dia berjalan menuju teras, aku mendorongnya dari belakang, kuhantamkan kayu ke perutnya. Sebelum dia benar-benar mati, aku tersadar. Aku segera mengangkatnya dan berteriak meminta tolong. Maaf kan aku anakku,ibumu tak tertolong, dokter hanya mampu menolongmu dari maut yang aku ciptakan. Ayahmu tak sanggup menerima keadaan ini, dia ingin memenjarakan aku. Tapi aku memohon dengan sangat padanya agar tak melakukan itu. Akhirnya, demi dirimu, ayahmu menikahi aku. Aku merawatmu dengan penuh kasih sayang untuk membalas semua kejahatanku terhadap ibumu. Ayahmu tak pernah sanggup melihat wajahku, oleh karena itu dia selalu memukuliku. Hanya sekali aku merasakan kasih sayang ayahmu, itupun tidak dengan kesungguhan hati ayahmu. Dia mabuk parah dan tak sadar bahwa dia telah meniduriku, dan itu membuatku hamil yang akhirnya melahirkan adikmu. Dia tak pernah cinta padaku dan juga pada adik kecilmu. Dia hanya cinta pada Almarhumah ibumu dan dirimu. Maaf kan aku anakku, aku tak bermaksud merusak kesenanganmu, aku begitu takut dicintai olehmu. Aku takut ibumu semakin membenciku, tapi ketika melihat wajahmu yang begitu mirip dengan ibumu, aku selalu ingin memelukmu, menciummu. Aku sangat mencintaimu jauh dari rasa cintaku pada ayahmu. Aku tak dapat jujur padamu, aku juga tak sanggup lagi menjalani hidup penuh rasa bersalah ini. Aku ingin segera bertemu ibumu untuk memohon ampun padanya. Dan maaf, adikmu juga akan menemaniku menemui Ibumu.
Kugenggam erat surat itu, kulihat pemandangan menyakitkan didepan sana. Kini ibu yang bukan ibu kandungku itu telah lepas dari penyiksaan Ayahku, benar-benar berakhir. Didalam hati ini mulai timbul rasa benci, bukan padanya atau pada Ayah. Hanya benci, mungkin aku benci pada diriku sendiri. Entahlah, rasanya begitu sakit kalau aku mengingatnya.
Kini setiap hari aku selalu bersama Ayah. Dia mengantarku kesekolah dan menjemputku ketika pulang sekolah. Sepulang sekolah setiap harinya aku dan Ayah mengunjungi pemakaman yang tak jauh dari rumahku. Disana berjejer 3 batu nisan, Ibu kandung yang tak pernah kukenal, Ibu yang bukan ibuku tapi sangat kucintai, dan adik kecilku.
Hari-hariku semakin membaik, kurasakan sangat damai walau kini aku hanya hidup bersama Ayah. Mungkin inilah jawaban atas doaku. Akhirnya Ibu tak lagi merasakan penderitaan, dan adikku kini pasti senang di alam sana, merasakan kasih sayang Ibunya dan tentu saja kasih sayang-Mu. Terima kasih Tuhan, hidup yang Engkau berikan ini sangat berarti bagiku. Hanya aku dan Ayah kini yang akan melanjutkan hidup yang Kau berikan. Entah apalagi yang ada didepan sana. Tapi kini dihatiku, aku sangat sayang pada Ayah, kedua Ibuku, adikku, dan kepada Hujan.

2 komentar: